PERSYARATAN PENGAKUAN HAK EX VERPONDING INDONESIA
|
||||
|
||||
KONVERSI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA
MENURUT UU NO.5 TAHUN 1960
Abstrak
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah. Konversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: hak-hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA.
Kata kunci : Konversi, UUPA
PENDAHULUAN
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan konversi adalah :
Â
â€Penyesuaian Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: Hak-Hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA “
Â
Yang menjadi pokok dilaksanakannya konversi dalam Hukum Agraria Nasional, adalah dimana hak–hak atas tanah yang dikenal sebelum berlakunya UUPA tidak sesuai dengan jiwa falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945 . Hukum Agraria kolonial bersifat dualistis, dimana disamping berlakunya peraturan yang berasal dari Hukum Agraria Adat berlaku pula Hukum Agraria yang berdasarkan Hukum perdata barat, dengan demikian terdapat tanah – tanah dengan hak-hak Barat dan tanah – tanah hak adat Indonesia.
Hak-Hak atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja hak-hak atas tanah yang bersumber pada hukum perdata barat saja tetapi juga hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum adat seperti ganggam bauntuak, bengkok, gogolan dan sebagainya. Hak-hak ini dikonversikan, karena tidak sesuai dengan jiwa Hukum Agraria Nasional, yaitu karena sifatnya yang feodalis.
Masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang konversi hak atas tanah ini menimbulkan berbagai permaslahan-permasalahan ditengah-tengah masyarakat. Misalnya : bagaimanakah cara mengkonversikan hak-hak matas tanah tersebut. Berdasarkan hal inilah, maka penulis tertarik membahas tentang : KONVERSI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1960
PEMBAHASAN
Â
I. Pengertian dan Dasar Hukum Konversi
Pengertian konversi dalam tulisan ini adalah konversi mengenai hak-hak atas tanah sebagai mana dimaksudkan oleh pakar Hukum Agraria Bapak Prof. DR.AP Perlindungan SH. Bahwa konversi adalah :
Â
:â€Penyesuaian Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: Hak-Hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA “ )
Dari istilah konversi tersebut diatas, dalam Hukum Agraria dimaksudkan adalah penyesuaian, peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah menurut sistem lama yakni hak-hak atas tanah yang pernah tunduk pada ketentuan KUH Perdata atau pun hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat kepada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Dasar Hukum pelaksanaan konversi terdapat pada bagian kedua UUPA terdiri dari :
– Ketentuan konversi bagi tanah yang tunduk pada KUH Perdata diatur dalam pasal I, III, IV, V, mengenai ketentuan pelaksanaannya dituangkan kedalam beberapa peraturan perundangan antara lain :
Â
a. Peraturan Menteri Agraria No.2 tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1970 tentang penyelesaian konversi hak-hak barat menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha.
c. Keppres No. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat.
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 tahun 1979 tentang ketentuan – ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak atas tanah asal konversi hak barat .
Sedangkan konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II, VI dan VII, ketentuan konversi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak Indonesia atas tanah
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah.
c. Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 / DDA / 1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah.
II. Tujuan dan Fungsi Konversi
Tujuan dari konversi hak–hak atas tanah tidak lepas dari tujuan yang hendak dicapai UUPA yakni unifikasi dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Secara lebih khusus konversi bertujuan untuk mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH perdata yang lebih mengutamakan kepentingan individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum adat dengan keanekaragamannya itu.
Keseluruhan dari hak-hak atas tanah dari produk hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau dirobah kedalam salah satu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu :
Tentunya hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria huruf (a) sampai dengan (g) tersebut tidak bersifat Liminatif, dalam pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk pengembangan hak-hak atas tanah lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam proses konversi hak atas tanah di Indonesia harus punya 5 prinsip, dari kelima prinsip tersebut akan semakin jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan cara penyelesaian dari konversi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca / ditemui dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
Dari ketentuan pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa betapa konsekwennya Indonesia terhadap prinsip Nasionalitas, maka hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di peruntukan bagi warga negara Indonesia, orang asing tidak diperkenankan mempunyai tanah walau pun karena pewarisan.
Begitu pula halnya dengan orang-orang yang melakukan pencampuran harta, kewarganegaraan rangkap yakni berkewarganegaraan asing disamping ia warga Negara Indonesia bagi mereka dikenankan sanksi untuk melepaskan hak miliknya itu, dalam jangka waktu 1 tahun jika tidak tanahnya akan jadi milik Negara.
Pasal 30 UUPA memuat prinsip Nasionalitas dari hak guna usaha dan pasal 36 UUPA tentang Hak Guna Bangunan. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa:
Â
“ UUPA telah mengIndonesiakan kembali hak-hak atas tanah yang terdapat di Indonesia . Di Zaman berlakunya BW hak-hak atas tanah yang pernah kita kenal seperti hak Eigendom, opstal, Erfacht tidak mempersoalkan kewarganegaraan / kependudukan seseorang asal saja mau tunduk kepada BW dapat saja memiliki tanah di Indonesia .â€3)
2. Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu .
Berlakunya UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang pertanahan. Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum yang lama, yakni Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui Lembaga Konversi disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan ketentuan konversi ini. Berlainan dengan Negara-negara penjajah maupun Negara–negara komunis yang mengambil alih daerah pada umumnya.
3. Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
4.Penyesuaian kepada kepentingan konversi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang pernah ada sebelum berlaku UUPA, maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Dalam Hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
5.Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada Hukum Barat maupun Adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan Hukum.
III.Hak-hak atas tanah yang dikonversi
Di dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA ada 2 sistem hukum yang mengatur masalah tanah yaitu sistem menurut KUH Perdata dan Hukum Adat, semenjak berlakunya UUPA tanggal 24-9-1960 kedua sistem hukum tersebut tidak diberlakukan lagi dan terhadap yang pernah di timbulkan oleh kedua sistem hukum tersebut di konversi ke dalam hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA. Untuk jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
a. Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada ex KUH Perdata
Pasal I ketentuan konversi menyebutkan:
1. Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum, yang tidak di tunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
4. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-Undang itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas,tetapi selama-lamanya 20 tahun.
5. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
6. Hak-hak hipotik, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membenahi hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) ayat (3) pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-Undang ini.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa hak eigendom itu dapat di konversi kedalam 3 kemungkinan:
Ad 1. Hak eigendom di konversikan menjadi hak milik .
Konversi hak eigendom menjadi hak milik apabila pemiliknya berwarganegara Indonesia asli atau berwarganegara tunggal pada tanggal 24 September 1960 atau badan hukum Indonesia dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
Kepastian mengenai kewarganegaraan Indonesia tunggal pada tanggal 24-9-1960 berkaitan dengan orang-orang yang sebelum berstatus dwi kewarganegaraan atau bagi WNI yang tadinya berwarganegara asing / keturunan asing.
Pasal 2 PMA No. 2/1960 mewajibkan bagi WNI (baik asli maupun tidak) yang pada tanggal 24-9-1960 telah berkewarganegaraan tunggal dalam waktu 6 bulan yaitu sebelum 24 Maret 1961 datang pada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan untuk memberi ketegasan mengenai kewarganegaraannya itu. Pasal 4 PMA No. 2/1960 menambahkan bahwa jika mereka tidak datang dalam jangka waktu tersebut maka hak eigendomnya tidak dapat dikonversi kedalam hak milik melainkan hanya dapat diberikan dengan hak guna bangunan.
Bagi WNI keturunan Tionghoa, maka penegasan itu harus dibuktikan dengan surat tanda kewarganegaraan menurut PP No. 20/1959 yaitu surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC yang sudah mendapat pengesahan oleh Hakim tertanggal selambatnya 24-9-1960, yang dipertegas lagi dengan surat edaran dari Departemen Agraria tanggal 24-9-1960 dan tanggal 14-2-1961 nomor unda 1/7/39 yang maksudnya bahwa tanggal 24 September 1960 adalah tanggal yang dinyatakan diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri yang ditunjukan sebelah kanan bawah surat penolakakanya dan bukan dari pejabat yang lain.
Surat Edaran Menteri Agraria tanggal 14 Februari 1961 No.unda 6/2 menyatakan bahwa, dalam perundang-undangan RI yang menetapkan siapa-siapa dianggap secara omplisit hanya berkewarganegaraan RI, supaya ditambahkan orang-orang WNI keturunan Tionghoa yang menurut keterangan dari panitia Pemilihan Indonesia atau keterangan-keterangan lainnya membuktikan bahwa mereka ikut memilih dalam pemilihan umum tahun 1955 untuk DPR atau DPRD di Indonesia. Untuk mereka mempergunakan formulir C sebagai lampiran dari PP. 20/1959, dengan catatan formulir tersebut sudah dicantumkam tanggalnya 24 September 1960.
Bagi para WNI bukan keturunan Cina dapat diajukan sebagai bukti kewarganegaraannya surat tanda kewarganegaraan Indonesia (STKI) yang diberikan oleh instansi dari Departemen Dalam Negeri. Kalau STKInya diragukan maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dapat mempersilahkan yang bersangkutan untuk datang ke Pengadilan Negeri agar ditetapkan bahwa ia benar seorang WNI (pasal IV Peraturan Penutup Undang-undang No. 62/1958).
Bagi mereka itu dapat pula diajukan tanda bukti kewarganegaraan lainnya yang sah, misalnya tanda bukti naturalisasi menjadi WNI menurut peraturan yang berlaku pada saat naturalisasi diberikan (misalnya UU No. 3/1946). Mengenai orang-orang WNI bukan keturunan asing (WNI asli) cara pembuktian kewarganegaraannya diserahkan kepada kebijaksanaan KKPT.
Saat mulai berlakunya UUPA belum ada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atas dasar ketentuan pasal 21 ayat (2) itu. Tetapi walaupun demikian, oleh UUPA sendiri telah ditetapkan dalam pasal 49 ayat (1), bahwa badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah, asal tanah itu dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha-usaha dalam bidang keagamaan dan sosial. Oleh karena itu maka untuk konversi hak eigendom kepunyaan badan-badan keagamaan dan sosial menjadi hak milik diperlukan suatu penegasan, pertama bahwa badan-badan yang bersangkutan benar-benar badan keagamaan dan sosial, kedua bahwa tanah eigendom yang dikonversi itu benar-benar dipergunakan untuk keperluan yang dimaksud. Permohonan penegasan tersebut diajukan kepada Menteri Agraria melalui Kepala Pengawas Agraria yang bersangkutan, didaerah dimana tidak ada pejabat ini permohonan diajukan melalui Kepala Inspeksi Agraria (pasal 6 ayat (1) PMA. No. 2/1960).
Setelah keluarnya PMA No. 2/1960 jo PP 38/1963 semakin jelas bagi kita badan-badan hukum mana saja yang hak eigendomnya dapat menjadi hak milik. Terhadap badan-badan hukum yang dimaksud dalam peraturan ini tidak diperlukan lagi suatu penegasan.
Ad. 2 Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan
Dalam ayat 1 pasal I KK menentukan bahwa hak eigendom kepunyaan orang asing atau orang yang berdwikewarganegaraan dikonversi kedalam HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Hal ini bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang tidak memungkinkan untuk orang asing dan orang yang berdwikewarganegaraan (digolongkan dengan orang asing) mempunyai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Otomatis didalam praktek ketentuan ayat (3) ini tidak mungkin dilaksanakan.
Â
“Melalui surat edaran Menteri Agraria No. Ka. 40/27/25, tanggal 4 Juli 1961 yang ditujukan kepada ikatan notaris Indonesia di Jakarta, menyebutkan bahwa mereka harus melepaskan haknya itu kepada WNI sebelum tanggal 24 September 1961 “
Jadi konversi kedalam HGB ini dapat terjadi bagi WNI tunggal / asli yang mempunyai hak eigendom tapi tidak dapat datang untuk membuktikan kewarganegaraannya kepada KKPT dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960).
Disamping itu hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum juga dikonversi kedalam HGB, tentunya dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia, didirikan menurut hukum Indonesia, dan berdomisili di Indonesia, jika badan hukum tersebut adalah badan hukum asing maka dalam jangka waktu 1 tahun (24 September1961), ia harus melepaskan HGB asal konversi hak eigendomnya tersebut, jika tidak maka tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Pasal 1 ayat 4 KK mengatur perihal konversi hak eigendom yang dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hak eigendomnya di konversi kedalam hak milik, sedangkan hak opstal atau hak erfpachtnya dikonversi kedalam hak HGB dengan jangka waktu sisa yang dikonversi tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal III KK menyebutkan :
“1. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang pada mula berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut tetapi selama-lamanya 20 tahun.
2. Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Hak guna usaha asal konversi hak erfpacht untuk perkebunan besar selanjutnya diatur lebih lanjut dengan PMDN No. 2 tahun 1970. Sedangkan bagi hak erfpacht untuk perkebunan besar yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi hak pakai. Hak pakai ini akan berlaku sementara sampai ada keputusan yang pasti mengenai nasib perusahaan perkebunan tersebut. Mungkin perusahan nya akan diberikan kepada pemegang haknya dengan hak guna usaha yang baru, mungkin akan diberikan kepada pengusaha lain atau mungkin akan diusahakan oleh pemerintah.
Hak erfpacht untuk pertanian kecil dahulu diberikan kepada orang-orang Eropa yang kurang mampu. Tetapi kenyataannya mereka yang dianggap kurang mampu ini kalau dibandingkan dengan orang Indonesia asli, termasuk golongan mampu. Dalam hal ini nampak adanya politik deskriminasi antara orang-orang yang mampu dengan orang yang tidak mampu, maka hal inilah yang mendorong UUPA menyatakan hapusnya semua hak erfpacht untuk pertanian kecil sejak 24 September 1960.
Dalam pasal IV KK mengatur tentang konversi dari pemegang consessie dan sewa untuk perusahaan perkebunan besar. Kemudian dalam pasalV KK mengatur konversi atas hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan.
“Hak opstal dan hak Erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat(1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan dikonversi kedalam hak guna bangunan selama sisa waktu hak tersebut, selama-lamanya 20 tahun. Dalam PMA No. 7/1965 ditegaskan bahwa batas akhir konversi dari kedua hak tersebut adalah 24 September 1980 atau sisa waktu sebelum tanggal 24 September 1980.
Ad.3 Hak eigendom dikonversi menjadi hak pakai
Untuk konversi hak eigendom menjadi hak pakai diatur dalam pasal I ayat (2) KK diperlukan suatu penegasan bahwa tanah eigendom tersebut benar-benar digunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan asing atau gedung kedutaan sebab jika dipergunakan untuk keperluan lain maka hak eigendom tersebut dikonversi menjadi HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut dapat dilihat juga dalam Surat Menteri Agraria tanggal 20 Nopember 1961 No. Ka. 12/5/36 yang menetapkan bahwa konversi hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara asing dan gedung kedutaannya di konversi menjadi hak pakai.
Hak pakai dimaksud adalah hak pakai khusus yang tidak tunduk pada ketentuan pasal 41 hingga 43 UUPA, tetapi yang kini diatur oleh PMDN No. 1/1977, yaitu suatu hak pakai yang berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan diperlukan untuk pelaksanaan tugasnya. Hak pakai tersebut digolongkan pada hak pakai publik rechttelijk, tidak ada Right di sposalnya yang berarti hak pakai tersebut tidak dapat dialihkan kepada siapapun dan tidak boleh menjadi hak tanggungan.
Konversi dari hak-hak atas tanah yang tunduk pada bekas KUH Perdata ini dinyatakan berakhir pada tanggal 24 September 1980 yang ditegaskan dengan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979. Jangka waktu selama 20 tahun cukup layak mentolerir keberadaan hak barat tersebut di bumi Indonesia.
Sesuai dengan judul skripsi tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran tanah hak milik adat di kota Sawahlunto, maka uraian tentang konversi hak barat tidak dibicarakan lagi.
b. Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat
Konversi hak atas tanah adat dapat dibedakan dalam tiga bentuk yakni konversi langsung, dengan penegasan hak dan pengakuan. Sebelum diuraikan lebih lanjut maka akan dibicarakan ketentuan dasar dari konversinya dalam pasal II, VI, VII ketentuan konversi.
Â
Pasal II menyatakan :
“1. Hak-hak atas tanah yang memberi hak atas wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang tersebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini, yakni: hak agrarisch eigendom , milik yayasan, andarbeni, grant sultan, landeri janbezi tercht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undangini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang disebut dalam pasal 21.
2. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagain yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukannya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.â€
Dari isi pasal di atas terdapat unsur-unsur penting agar sesuatu hak atas tanah dapat dikonversi menjadi hak milik menurut UUPA yakni :
1. Hak itu memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak milik menurut pasal 20 UUPA
2. Hak dimaksud sudah ada sebelum UUPA .
3. Pemiliknya harus WNI asli /tunggal atau badan yang ditunjuk oleh Pemerintah(telah dijelaskan terdahulu).
4. Subyeknya tidak terkena ketentuan prinsip nasionalitas .
Pasal VI menyatakan :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalm pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini yaitu vruchtgebruik , gebruik, garant controleur, bruikleen,ganggam bauntuik,angaduh ,bengkok,lungguh ,pituas,dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini , sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-undang ini.â€
Â
PENUTUP
Konversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: hak-hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA.
Dengan dilakukannya konversi hak atas tanah, maka telah terjadilah unifikasi terhadap hukum tanah dengan ketentuan-ketentuan nasional. Konversi hak atas tanah tentu tidak semudah yang diperkirakan, tentu ada kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam pelaksanaannya, terutama konversi hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti gogolan, ganggam bauntuak.
Konversi hak atas tanah harus memiliki prinsip sebagai berikut :
a. Prinsip Nasionalitas
b. Prinsip Pengakuan hak – hak atas tanah
c. Prinsip Kepentingan Hukum
d. Prinsip Penyesuaian pada Kepentingan Konversi
e. Prinsip Status Quo hak-hak tanah terdahulu
Â
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
Harsono, Budi, 1999, Hukum Agraria Indonesia ( Sejarah Pembentukan UUPA), Djambatan, Jakarta
Hermayulis, 1999, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Kekerabatan Pada Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ( KRHN ) dan Konsorsium Pembaharuan Hukum Agraria ( KPA ), 1998, Usulan Revisi ( Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria )
Kartasapoetra, G Dkk, 1986, Masalah Pertanahan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta
—————-, 1984, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,Rineka Cipta
Parlindungan A.P, 1991, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Mandar Maju, Bandung
——————–, 1999, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, BandunG
Oleh
Delfina Gusman, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas
Persyaratan:
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan
3. Fotocopy identitas (KTP) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan, Akta Pendirian, Pengesahan Badan Hukum dan bukti pengumuman dalam Lembaran Negara yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
5. Ijin Lokasi atau Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah
6. Bukti perolehan tanah/Alas Hak dari pemilik/penggarap tanah atau pemegang aset tanah/sk pelepasan kawasan hutan
7. Proposal/Rencana Pengusahaan Tanah jangka pendek dan jangka panjang
8. Ijin usaha dari instansi teknis
9. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
Biaya:
Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Waktu:
· 38 (tiga puluh delapan) hari: untuk luasan tidak lebih dari 200 Ha
· 78 (tujuh puluh delapan) hari: untuk luasan lebih dari 200 Ha s.d. 1.000 Ha
· 93 (sembilan puluh tiga) hari: untuk luasan lebih dari 1.000 Ha s.d. 3.000 Ha
· 108 (seratus delapan) hari: untuk luasan lebih dari 3.000 Ha s.d. 6.000 Ha
· 123 (seratus dua puluh tiga) hari: untuk luasan lebih dari 6.000 Ha s.d. 9.000 Ha
· 138 (seratus tiga puluh delapan) hari: untuk luasan lebih dari 9.000 Ha
Keterangan:
Formulir permohonan memuat:
1. Identitas diri
2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
Catatan:
Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 30 ayat 1 dan 2 berbunyi Ayat (1) berbunyi: Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah : a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dan Ayat (2) berbunyi: Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
A. Pengertian Hak Guna Usaha
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.[1] Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :
Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:
Berdasarkan pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang tertentu pula untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau peternakan.[3]
Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto Rahardjo[4], mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Subjek Hak Guna Usaha
Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.
Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah, yaitu :
a. Warga Negara Indonesia
Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.[5]
Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum,[6] yaitu :
1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)
2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum dewasa.
b. Badan Hukum Indonesia
Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda)[7]
Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia
2. berkedudukan di indonesia.
Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
2. Objek Hak Guna Usaha
Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut.
Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.
Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.[8] Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan.[9] Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a) ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),
b) suasana yang kondusif
c) keterwakilan parapihak
d) kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi
e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.[10]
Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah tersebut.
Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak Guna Usaha tersebut adalah[11]:
a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,
b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,
c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.
Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.[12]
Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal tersebut disebutkan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.
Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.
Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8 menyatakan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun
(2) sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.
4. Hapusnya Hak Guna Usaha
Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan pemberian hak atau perpanjangannya,
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :
a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;
b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;
c) tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;
f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;
g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada negara setelah hak tersebut hapus;
h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya kepada kantor pertanahan.
2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemegang hak);
f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;
g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak. [14]
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah menyebutkan bahwa yang berwenang memberikan hak atas tanah adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan pejabat pemerintah pusat yang meliputi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Kepala BPN Pusat sesuai dengan pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada masing-masing pejabat.
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, kewenangan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan pada Kantor Kabupaten/Kota, tetapi pada kantor wilayah BPN Propinsi dan BPN Pusat. Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi hanya terhadap pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar (dua ratus hektar), sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 bahwa ”Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar)”. Dengan demikian pemberian Hak Guna Usaha di atas tanah yang luasnya lebih dari 200 ha merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional Pusat.
Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1). apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya;
2) apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu:
1). dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
2). letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan tanggal dan nomornya);
3). jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).
c. keterangan lainnya, yaitu :
1). keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon;
2). keterangan lain yang dianggap perlu.
Mengenai syarat izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf c prosedur untuk mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, disebutkan bahwa ”Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai zin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya”[15] Sedangkan menurut BF. Sihombing, izin lokasi didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada perusahaan unutk memperoleh tanah yang telah diberikan pencadangan tanah.[16]
Dalam pemberiannya, izin lokasi berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan dan tehnis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, termasuk juga penguasaan fisik wilayah, penggunaan tanah serta kemampuan tanah[17]. Adapun tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan persetujuan penanaman modalnya dan Izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bila ditinjau jangka waktu pemberian izin lokasi, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :
Dengan demikian, syarat permohonan mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah baru dapat diberikan setelah menyelesaikan prosedur mendapatkan izin lokasi. Dengan kata lain, Hak Guna Usaha atas tanah tidak dapat diberikan sebelum penyelesaian terhadap pelepasan atau pembebasan hak-hak di atas tanah yang dimohon, baik berupa hak perorangan atas tanah ataupun perubahan status hak tertentu yang terdapat di atas tanah tersebut.
3. Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha
Tata cara pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa : ”permohonan Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah tanah yang bersangkutan”. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa ”apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kotamadya, maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan”.
Pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan permohonan kepada Menteri, bukan kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya, Kepala Wilayah bukanlah pejabat yang berhak memberikan jawaban langsung atas permohonan yang diajukan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha. Dalam Pasal 20 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas bahwa calon pemegang dimungkinkan mengajukan permohonan atas beberapa areal tanah yang tersebar di tempat berbeda, namun permohonan yang ditujukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah harus disampaikan tembusannya kepada Kepala Kantor Pertanahan di daerah masing-masing tempat areal atanah itu berada. Keputusan diterima atau ditolaknya permohonan calon pemegang hak tetap berada pada Menteri dan akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada pihak yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.
[1] Hal ini telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas meyatakan prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.
[2] BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 79
[3] www.property.net, diakses pada tanggal 20 November 2008.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000, hal. 55
[5] Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24
[6] CTS Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 118
[7] Ibid, hal. 118
[8] Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.251.
[9] Hal ini sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
[10] Op.cit, hal. 272
[11] Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 24
[12] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 112
[13] Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008 hal.158
[14] Ibid, hal. 172
[15] CST. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.837
[16]B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 267.
[17]Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999.
Tulisan ini merupakan bagian dari Tugas Akhir (Skripsi) penulis dengan judul “Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur”
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA .
720. Hak guna usaha adalah hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun berupa hasil atau pendapatan. las hak lahirnya hak guna usaha harus diumumkan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620. (Ov. 26; KUHPerd. 508-4?, 528, 616, 696, 712, 1548 dst., 1963.)
721. Pemegang hak guna usaha menikmati segala hak yang terkandung dalam hak milik atas tanah yang ada dalam usahanya, tetapi ia tidak boleh berbuat sesuatu yang kiranya dapat menurunkan harga tanah itu. s.d.u. dg. S. 1904-233.) Dengan demikian ia tidak boleh antara lain melakukan penggalian batu, batu bara terpendam, tanah liat atau bagian tanah lain sejenis itu, kecuali bila penggalian itu memang sudah dimulai ketika hak itu diperolehnya. (KUHPerd. 587 dst., 594, 596, 727, 774, 776 dst.)
722. Pohon-pohon yang mati atau roboh secara kebetulan selama hak guna usaha berjalan, menjadi bagian pemegang hak guna usaha, asal diganti dengan pohon lain. emikian pula ia mempunyai kebebasan terhadap tanam-tanaman yang diselenggarakannya sendiri. (KUHPerd. 600 dst., 714 dst., 766 dst.)
723. Pemilik tanah tidak wajib mengadakan suatu perbaikan. ebaliknya pemegang hak guna usahalah yang berkewajiban memelihara barang yang ada dalam hak guna usaha tersebut dan melakukan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang biasa. a boleh memperbaiki tanah itu, dengan mendirikan gedung-gedung di atasnya, dengan membukanya atau menanaminya. (KUHPerd. 731, 733 dst., 793 dst., 828, 1583.)
724. Ia berhak mengalihkan haknya kepada orang lain, membebaninya dengan hipotek dan membebani tanah yang dibebani hak guna usaha itu dengan pengabdian pekarangan selama jangka waktu hak guna usahanya. (KUHPerd. 695, 730 dst., 1164-3?; Rv. 493-3?.)
725. Pada waktu berakhirnya hak guna usaha, ia boleh mengambil gedung yang didirikan dan tanaman yang diusahakan, yang menurut perjanjian tidak semestinya didirikan atau ditanam; tetapi bila tanah itu menjadi rusak karena pengambilan barang-barang itu, ia wajib mengganti kerugian. amun demikian pemilik tanah berhak menahan barang-barang itu sampai pemegang hak guna usaha menunaikan segala kewajibannya. (KUHPerd. 600 dst., 714 dst., 722 dst., 1567.)
726. Pemegang hak guna usaha tidak berhak menuntut pemilik tanah membayar harga gedung, bangunan, tanaman dan apa saja yang dibuat oleh yang tersebut pertama dan masih ada di atas tanah itu pada saat berakhirnya hak guna usaha. (KUHPerd. 600 dst., 714 dst., 722.)
727. Pemegang hak guna usaha harus membayar semua pajak yang dikenakan terhadap tanah itu, baik pajak biasa maupun pajak luar biasa, baik pajak tahunan maupun pajak yang harus dibayar hanya satu kali saja. (KUHPerd. 721, 796 dst., 828.)
728. Kewajiban untuk membayar upeti tidak dapat dipecah-pecah, dan harus ditanggung seluruhnya oleh pemegang hak guna usaha, walaupun tanah yang bersangkutan telah dibagi-bagi untuk beraneka usaha. (KUHPerd. 730, 1296 dst.)
729. Pemegang hak guna usaha tidak dapat menuntut dibebaskan dari pembayaran upeti, baik karena hasilnya berkurang maupun karena hasilnya tidak ada lagi. eskipun demikian, bila selama lima tahun berturut-turut pemegang hak guna usaha tidak memperoleh kenikmatan apa pun dari tanah itu, ia harus dibebaskan dari pembayaran upeti selama ia tidak memperoleh hasil. (KUHPerd. 1592.)
730. Untuk setiap pengalihan hak guna usaha atau pembagian oleh suatu persekutuan, tidak diwajibkan membayar iuran istimewa. (KUHPerd. 724, 736.)
731. Dengan berakhirnya hak guna usaha, pemilik tanah mempunyai tuntutan perseorangan terhadap pemegang hak guna usaha untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga yang disebabkan pemegang hak guna usaha lalai dan kurang memelihara pekarangan dan untuk hak-hak yang akibat kesalahan pemegang hak guna usaha telah gugur karena kedaluwarsa. (KUHPerd. 723, 733; Rv. 102.)
732. Bila hak guna usaha berakhir karena lewatnya waktu, maka hak itu tidak dapat dengan diam-diam diperbaharui, namun hak itu boleh berjalan terus sampai dihentikan. (KUHPerd. 718-4?, 736, 1573.)
733. Hak guna-usaha dapat dicabut bila tanah rusak sama sekali atau sangat disalahgunakan, tanpa mengurangi tuntutan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. encabutan dapat juga diucapkan karena kelalaian membayar uang upeti selama lima tahun berturut-turut dan setelah sia-sia ditegur oleh jurusita secara sah, sekurang-kurangnya enam minggu sebelum tuntutan diajukan. (KUHPerd. 723, 729, 731, 734, 1365.)
734. Pemegang hak guna usaha dapat menghindarkan penghapusan hak guna usaha karena kerusakan yang diperbuat pada tanah atau karena penyalahgunaan hak, bila ia memperbaiki barang-barang itu sehingga kembali ke dalam keadaan seperti semula dan memberikan jaminan yang cukup untuk selanjutnya. (KUHPerd. 816.)
735. Semua ketentuan dalam bab ini hanya berlaku, selama dalam perjanjian kedua belah pihak tidak diadakan penyimpangan. (KUHPerd. 717, 1338.)
736. Hak guna usaha berakhir menurut cara berakhirnya hak numpang karang, sebagaimana ditentukan dalam pasal 718 dan pasal 719.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG
POKOK‑POKOK KEBIJAKSANAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU
ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah yang di timbulkan karena berakhirnya jangka waktu hak‑hak atas tanah asal konversi hak Barat pada selambat‑lambatnya tanggal 24 September 1980, sebagai yang dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok Agraria, dipandang perlu untuk digariskan pokok‑pokok kebijaksanan yang mengarah kepada usaha untuk menunjang kegiatan pembangunan di bidang ekonomi khususnya;
b. bahwa pokok‑pokok kebijaksanaan tersebut harus dapat menjabarkan perwujudan daripada penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sebagai dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV /MPR/1978 serta Catur Tertib di bidang pertanahan seperti tercantum dalam REPELITA KETIGA;
c. bahwa karena syarat‑syarat pemberian dan penguasaan hak‑hak atas tanah asal konversi hak Barat sebagai yang dimaksud di atas sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku, maka penyelesaiannya perlu dilakukan dengan pemberian hak baru;
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (3) Undang‑Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (REPELITA III) 1979/1980‑1983/1984;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLlK INDONESIA TENTANG POKOK‑POKOK KEBIJAKSANAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK‑HAK BARAT.
Pasal 1
(1) Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat‑lanbatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1960 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
(2) Tanah-tanah tersebut ayat (1), ditata kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan :
a. masalah tata guna tanahnya;
b. sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. keadaan kebun dan penduduknya;
d. encana pembangunan di daerah;
e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah/penghuni bangunan.
Pasal 2
Kepada bekas pemegang hak yang menenuhi sarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah‑tanah tersebut diperlukan untuk proyek‑proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
Pasal 3
Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir.
Pasal 4
Tanah‑tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh Rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada Rakyat yang mendudukinya.
Pasal 5
Tanah‑tana perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki Rakyat akan diberikan prioritas kepada Rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan‑persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Pasal 6
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak Barat yang dimiliki oleh Perusahaan Milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan‑badan Negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1.
Pasal 7
Masalah‑masalah yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijaksanaan yang digariskan berdasarkan Keputusan Presiden ini, diselesaikan oleh Menteri Dalan Negeri dengan mendengar Menteri‑Menteri yang bersangkutan.
Pasal 8
Keputusan Presidenini mulai berlaku pada tanggal ditetetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1979.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO